Sabtu, 07 April 2018

MAKALAH KHULU'



BAB II
PEMBAHASAN

  1. Definisi Khulu’
Khulu menurut bahasa,  berasal dari kata  خَلَعَ – يَخْلَعُ - خُلْعًا yang berarti melepaskan atau menanggalkan pakaian.[2] Karena perempuan sebagai pakaian laki-laki, dan laki-laki sebagai pakaian perempuan. Sebagaimana firman Allah SWT  dalam QS. Al-Baqarah: 187

[3]... هُن لباس لكم وأنتم لبا س لهن...

Sedangkan menurut terminology Khulu’ adalah permintaan cerai yang diajukan oleh istri terhadap suami dengan memberikan ganti rugi sebagai tebusan kepada sang suami, agar ia menceraikannya.[4]
  1. Syarat dan Rukun Khulu’
1.      Rukun Khulu’
Jumhur ulama telah menetapkan bahwa rukun khulu' itu ada lima, yaitu al-mujib, al-qabil, al-mu'awwadh, al-'iwadh dan ash-shighah.
a.       Al-Mujib (Suami)
Yang dimaksud dengan al-mujib (الموجِب) adalah suami, yang dalam hal ini memiliki hak dan wewenang untuk menjatuhkan talak.
Jumhur ulama mensyaratkan dalam hal ini status suami adalah: muslim, akil dan baligh.

b.      Al-Qabil (Istri)
Yang dimaksud dengan al-qabil (القابل) adalah pihak yang menerima khulu'.Dalam hal ini maksudnya adalah istri.
c.       Al-Mu'awwad
Yang dimaksud dengan al-mu'awwadh (المعوّد) adalah al-badh'u, yaitu kemaluan. Maksudnya istri menebus kembali kehalalan atas diri, kehormataan dan kemaluannya dari suaminya.
d.      Al-Iwadh
Yang dimaksud dengan al-'iwadh (العِوَض) adalah harta atau uang yang dijadikan tebusan. Kedudukan harta tebusan ini menjadi sangat penting, karena yang membedakan antara khulu' dengan perpisahan lainnya terletak pada tebusannya itu sendiri.
Dan umumnya ulama mengatakan bahwa khulu' yang dilakukan tanpa tebusan, maka hukum dan statusnya bukan khulu'.
e.       Shighat
Yang dimaksud dengan ash-shighat (الصِّيغة) adalah adalah lafadz ijab dan kabul dari kedua belah pihak. Ijab adalah lafadz yang diucapkan oleh suami dan kabul adalah lafadz yang diucapkan oleh istri.
Dan keduanya termasuk ke dalam rukun khulu'. Sehingga bila salah satu atau keduanya tidak ada, maka khulu' menjadi tidak sah. Masing-masing ijab serta kabul itu juga punya syarat dan ketentuan, dimana bila syarat dan ketentuan dalam ijab kabul ini tidak terpenuhi, maka khulu' menjadi tidak sah juga.[5]
2.      Syarat Khulu’
a.       Harta/Barang yang dipakai dalam khulu'
b.      Istri yang melakukan khulu’
c.       Ucapan Khulu’[6]
C.    Hukum Khulu’
Hukum khulu’ sebagaimana hukum talak adalah merupakah hal yang boleh dilakukan oleh pasangan istri tetapi merupakan hal yang dibenci oleh Allah.
1.      Mubah (diperbolehkan)
Khulu’ diperbolehkan ketika istri benci terhadap suaminya sehingga dengan kebenciannya tersebut istri takut tidak dapat memenuhi hak suami (kewajibannya sebagai istri) dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah sebagai istri.
Sebagaimana surat al-Baqarah ayat 229:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ [7]

Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu’ dan penerimaan ‘iwadh. Terkait hukum mubah tersebut Syaikh al-Bassam dalam kitabnya Bulughul Maram menyebutkan bahwa seorang istri diperbolehkan mengajukan khulu’ (gugat cerai), jika istri membenci perilaku suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan hak suami (kewajiban istri), tetapi jika suami masih mencintainya, maka istri disunnahkan untuk bersabar dan tidak memilih khulu’ (gugat cerai).[8]
Sabda Rasulullah Saw: “Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” (HR Bukhari)
2.      Sunnah
Apabila sang suami meremehkan hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan  untuk Khulu.
3.      Wajib
Dalam keadaan tertentu, khulu’ menjadi wajib. Kondisi ini semisal suami memiliki keyakinan lain yang bisa menjadikan istri sebagai Muslimah yang murtad  atau suami tidak menjalankan kewajiban agama seperti shalat, puasa dan lain sebagainya, padahal istri telah mengingatkan suaminya. Jika suami tetap tidak mendengarkan peringatan dari istrinya maka dalam dua keadaan tersebut si istri wajib melakukan khulu’ kepada suaminya.  Selain kasus tersebut, maka haram hukumnya bagi suami yang menyakiti istrinya supaya istri minta khulu’.[9] Sebagaimana tersebut dalam QS an-Nisa ayat 19, sebagai berikut:

ياَيُّهَا الَّدِيْنَ امَنُوْا لَايَحِلَّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَاتَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَا اَتيْتُمُوْهُنًّ إِلّاَاَنْ يَّأْ تِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مَّبَيِّنَةٍ[10]

Jika seorang istri sudah tidak bisa menemukan jalan untuk hidup bersama suaminya lalu ia ingin mengajukan khulu’, maka ia harus memiliki alasan-alasan dan bukti-bukti yang kuat untuk pengajuan khulu’ kepada pengadilan agama.
Berikut prosedur pengajuan khulu’ sebagaimana diatur dalam pasal 148 KHI terdapat beberapa langkah yaitu:
a.       Seorang istri yang mengajukan perceraian dengan jalan khulu’, menyampaikan permohonannya kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya, disertai alasan-alasannya.
b.      Pengadilan agama selambat-lambat-nya satu bulan akan memanggil istri dan suaminya untuk mendengarkan keterangan dari masing-masing suami istri.
c.       Dalam persidangan tersebut, pengadilan agama memberikan penjelasan tentang akibat khulu’ dan hakim akan memberikan nasihat-nasihat kepada suami istri.
d.      Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadl (tebusan) maka pengadilan agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan agama. Terhadap penetapan ini maka tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
e.       Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri, dibuat rangkap empat, yang terdiri dari:
1)      Helai pertama: beserta surat ikrar talak dikirimkan untuk pegawai pencatat nikah.
2)      Helai kedua dan ketiga: masing-masing diberikan kepada suami-istri.
3)      Helai keempat: disimpan oleh pengadilan agama. Dan step terakhir.
f.       Ketika tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan dalam permohonan khulu’ ini maka pengadilan agama memeriksa dan memutuskannya sebagai perkara biasa.  Dalam KHI pasal 161 menyebutkan bahwa perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah bilangan talak dan tidak dapat dirujuk.[11]
4.      Haram
Hukum ini ada dua hal keadaan yaitu:
a.       Dari sisi suami
Jika suami menyusahkan istri, memutuskan hubungan komunikasi, tidak memberikan hak-hak istri dengan harapan agar istri melakukan khulu’ maka sang suami tidak berhak menerima ‘iwadl. Sebaliknya jika istri yang melakukan kesalahan (nusyuz) lalu suami mempersulit dan tidak memberikan hak-hak istri sehingga istrinya mengajukan khulu’ maka suami berhak menerima ‘iwadl dari istri. 
Sebagaimana Firman Allah dalam QS.An-Nisa: 19 “Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” (Q.S. An-Nisa : 19)
b.      Dari istri
Jika istri meminta cerai, padahal hubungan rumah tangga baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami-istri serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya khulu’. Sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad dalam kitab Irwat’ul Ghalil. “ Semua perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa alasan maka haram baginya aroma surga.”
Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan keharaman Khulu’, diantaranya:
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ[12]

Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat. Dalam Aunul Ma’bud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’,

أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة

Artinya:“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (Aunul Ma’bud, 6:220).
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah Rasulullah SAW., bersabda:

الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ[13]

Al-Munawi menjelaskan hadis di atas,

أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي

Artinya: “Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat”.
Beliau juga menjelaskan makna munafiq dalam hadis ini,

نفاقاً عملياً والمراد الزجر والتهويل فيكره للمرأة طلب الطلاق بلا عذر شرعي

Artinya: “Munafiq amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’ (At-Taisiir bi Syarh al-Jaami’ as-Shogiir, 1:607).[14]
Untuk pengajuan khulu’, jumhur ulama telah bersepakat bahwasanya khulu’ bisa dilakukan oleh wali perempuan (ayah istri) jika si anak perempuannya tersebut tidak cakap (bodoh), namun prioritas pengajuan khulu’ berada dipihak istri dan jika pihak istri tidak bisa mengajukan gugatan cerai karena kondisinya dikekang atau ditekan oleh pihak suami maka pihak wali istri berhak atas anak perempuannya. Hak wali untuk melakukan gugat cerai atas anaknya ini diperbolehkan sebagaimana diperbolehkan untuk menikahkannya. Demikian halnya dengan perempuan hamba sahaya di masa jahiliyah, dimana khulu’ atas dirinya diserahkan kepada pemiliknya (tuan yang menguasainya). Al-Jaziry menegaskan bahwa syarat terpenting bagi istri yang bisa mengajukan khulu’ adalah berakal, mukallaf dan cerdik, sehingga anak kecil, orang gila dan orang safih (idiot) tidak sah melakukan khulu’ terhadap suaminya.
Perwalian istri dalam khulu’ berlaku sama dalam pernikahan sehingga ada beberapa pendapat ulama dalam perwalian untuk istri (anak perempuan), yaitu menurut Hambali dan Maliki wali pertama adalah ayah, kemudian orang yang menerima wasiat dari ayah dan jika ayah tidak punya orang yang diwasiati maka perwalian jatuh ke tangan hakim Syar’i. Kakek tidak memiliki hak perwalian karena kakek tidak memiliki posisi ayah. Hanafi berpendapat bahwa para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah, kemudian kakek dari pihak ayah, kemudian orang yang menerima wasiat darinya dan jika tidak ada maka perwalian jatuh ke Qadhi. Syafii berpendapat bahwa perwalian beralih dari ayah ke kakek, dari kakek kepada orang yang menerima wasiat dari ayah, lalu kepada penerima wasiat kakek, lalu kepada Qadhi. Mazhab Imamiyah berpendapat bahwa ayah dan kakek memiliki posisi yang sama dalam perwalian selama mereka bisa melaksanakan kewajibannya, dan jika di antara keduanya berebut untuk menjadi wali maka kakek lah yang didahulukan.  Urutan perwalian ini menjadi sangat penting untuk dirunut dan ditelusuri jika istri sulit untuk melakukan dan mendapatkan wali untuk melakukan khulu’ kepada suaminya karena adanya kejahatan yang kemungkinan dilakukan oleh suami kepada istrinya (yang meminta khulu’).
Adapun hukum khulu’ bagi istri yang akan meninggal maka dalam keadaan seperti ini sebagian besar Ulama berpendapat bahwa khulu’ dalam keadaan demikian adalah sah dan istri meninggal dalam masa iddah. Menurut Hanafi dalam kondisi demikian suami akan mendapatkan:
1)      Jumlah iwadl yang disepakati bersama
2)      Sepertiga harta warisan istri dan
3)      Hartanya sendiri (suami) selama berumah tangga dengan istri. Jumhur ulama, di antaranya Maliki, Syafi’i, Ibnu Rusy dan Ibnu Nafi’ berpendapat bahwa dalam kondisi demikian suami hanya mendapatkan harta warisan sepertiga dari harta waris istri.[15]
Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam bentuk cerai yang itu berada di tangan suami atau gugat cerai (khulu’) sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Dan semuanya harus dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan syariat.[16]
D.    Dasar Hukum Khulu’
Dasar diperbolehkannya khulu adalah:
1.      Al-Qur’an
a.       QS. Al-Baqarah: 229

فَأِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَ تْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأُوْلَّئِكَ هُمُ الَظلِمُوْنَ[17]


b.      QS. An-Nisa: 4

وَءَاتُوْ النِّسَاءَ صَدُ قَتِهِنَّ نِحْلَةً فَأِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا[18]
c.       QS. An-Nisa: 19

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ أِلاَّ أَنْ يَأتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ فَأِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَّيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا[19]

d.      QS.  An-Nisa: 21

وَكَيْفَ تَأخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ أِلَى بَعْضٍ وَّأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَاقاَ غَلِيْظًا[20]

2.      Hadits Nabi Muhammad SAW
a.       Dari Ibnu Abbas ra: “sesungguhnya Jamilah binti Salul datang kepada Nabi lalu berkata: “Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais tidak ada cacat dalam ahklak dan agamanya, akan tetapi saya tidak mau kufur dalam Islam”. Maka bersabda Rasul: “Dapatkah kamu mengembalikan kebunnya?” maka menjawab wanita itu: “ya, maka memerintahkan Rasul untuk mengambil kebunnya”.
b.      Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya isteri Tsabit datang kepada Rasulullah SAW kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mengumpulkan kembali antara kepalaku dan kepala suamiku untuk selama-selamanya. Sebab aku tahu bahwa dia adalah orang yang paling jelek kepribadiannya dan berkulit sangat hitam, sangat pendek dan wajahnya tidak menguntungkan sama sekali.”
c.       “Sesungguhnya isteri Tsabit bin Qais melakukan khulu dari suaminya, dan Nabi memerintahkan isteri Tsabit tersebut untuk melaksanakan iddah dengan satu kali haid.” (HR. Abu Dawud dan Tirmizi)
d.      Dari Sahal bin Abi Hastmah, bahwa isteri Tsabit adalah orang yang pertama melakukan khulu di dalam Islam.
e.       Isteri kedua dari Tsabit bernama Habibah binti Sahl Al-Anshariyah, pada suatu ketika dipukul oleh suaminya sehingga mengalami patah tulang. Oleh sebab itu Habibah menghadap kepada Rasulullah pada waktu beliau melakukan shalat subuh untuk mengadukan peristiwa yang dialaminya. Ia mengeluh kepada Nabi SAW dan beliau mengatakan kepada Tsabit untuk mengambil sebagian dari apa yang telah diberikannya kepada Habibah dan menceraikannya.
f.       Khulu pun terjadi pada masa Umar bin Khattab, seorang wanita yang menentang suaminya, maka Umar memenjarakan wanita tersebut dalam tempat yang banyak kotorannya kemudian ia dipanggil dan ditanya “bagaimana keadaanmu?” jawab wanita itu “belum pernah aku senang sejak aku bertemu dengan dia (suaminya), kecuali semalam ini di tempat engkau penjarakan aku”. Maka khalifah Umar berkata kepada suaminya: ”Lepaskanlah dia walau hanya menebus dirinya dengan anting-antingnya”.
g.      Dari Rubayyi binti Muawwidz, bahwa sesungguhnya ia pernah menebus dirinya (membayar khulu) di masa Nabi SAW. Kemudian Nabi menyuruh dia supaya beriddah sekali haidh. (HR. Tirmizi) dan ia berkata: hadis Rubayyi ini sah.
Meskipun khulu diperbolehkan tetapi harus diikuti dengan alasan-alasan yang kuat, seperti suami seorang pemabuk, pezina, penjudi, tidak menafkahi keluarganya dan lain-lain. Dalam hal seorang wanita atau isteri meminta cerai tanpa alasan atau dicari-cari, maka diharamkan untuknya bau syurga.[21]
3.      Ijma'
Para ulama sepanjang zaman telah berijma' tentang disyariatkannya khulu' dalam agama Islam. Meskipun mereka berbeda pendapat dalam detail syarat dan ketentuannya.
E.     Hal-hal yang Mewajibkan Khulu’
1.      Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung.
2.      Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
3.      Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar musik, dan lain-lain.
4.      Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
5.      Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain.
6.      Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.
7.      Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami.[22]
F.     Nusyuz ( Durhaka) Istri
Apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’ maka tindakan itu dipandang durhaka. Seperti:
1.      Suami menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak mau pindah ke rumah itu atau istri meninggalkan rumah tangga tanpa izin suami.
2.      Apabila suami istri tinggal dirumah kepunyaan istri dengan izin istri kemudian pada suatu waktu istri mengusir (melarang) suami masuk ke rumah itu.
3.      Misalnya istri menetap ditempat yang disediakan oleh perusahaannya, sedangkan suami minta supaya istri tinggal di rumah yang telah disediakannya, tetapi istri berkeberatan dengan tidak ada alasan yang pantas.
4.      Apabila istri bepergian dengan tanpa suami atau mahramnya walaupun perjalanan itu wajib, seperti pergi haji. Karena jika perjalanan perempuan yang tidak beserta suami terhitung maksiat.
Apabila suami melihat istrinya durhaka maka ia harus menasehatinya dengan sebaik-baiknya. Apabila sudah dinasehati masih terus tampak durhakanya, hendaklah suami berpisah tidur dengan istri. Dan jika dia masih meneruskan kedurhakaanya, maka diperbolehkan memukulnya tetapi jangan sampai merusak badannya.[23]
Sebagaimana yang tercantum dalam Firman Allah SWT., dalam QS. An-Nisa: 34

وَالَّتِىْ تَخَا فُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُهُنَّ فِى الْمَضَا جِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ[24]

Adapun tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri yang durhaka antara lain:
1.      Suami berhak memberi nasihat kepada istri bila tanda-tanda kedurhakaan istri telah tampak.
2.      Sesudah nyata durhakanya, maka suami berhak berpisah tidur darinya.
3.      Sesudah dua pelajaran tersebut (nasihat dan berpisah tidur), jika dia masih terus juga durhaka maka suami berhak memukulnya.
Akibat kedurhakaan tersebut maka hilanglah hak istri “menerima uang belanja, pakaian, dan pembagian waktu”. Berarti dengan adanya durhaka istri ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami dan istri tidak berhak menuntutnya.[25]

Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 228

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِلْمَعْرُوْفِ[26]
G.    Macam-macam Khulu’
1.      Khulu’ munjiz dengan lafazh ganti rugi
Yaitu seorang suami menjatuhkan kalimat perpisahan (furqah) dengan kompensasi. Misalnya, sang suami berkata, “Aku telah menalakmu,” atau “Kamu orang yang tertalak dengan kompensasi seribu sebagai gantinya,” dan pihak istri berkata, “Aku terima.” Ini seperti pernyataan seorang penjual, “Aku jual barang ini dengan harga seribu,” dan pembeli menjawab, “Aku terima.” Atau istri berkata, “Talaklah aku dengan kompensasi seribu,” lalu suaminya menjawab, “Aku menalakmu.” Ini seperti ucapan pembeli, “Juallah barang ini dengan harga seribu,” lalu penjual menjawab, “Aku jual (barang ini) kepadamu.” Penjual tidak perlu mengulangi penyebutan jumlah kompensasi (seribu) sebab konteksnya sudah mengarah ke sana sebagaimana dalam jual beli. Pernyataan ini sah jika dilakukan dengan segera, seperti halnya dalam jual beli. Suami boleh mencabut pernyataan ijab sebelum ada qabul; dan istri juga boleh mencabut khulu’ sebelum jatuh talak.
2.      Khulu’ mu’allaq atau ghairu munjiz
Yaitu seorang suami menaklik talak dengan jaminan harta atau pemberian harta sebagaimana telah dikemukakan di depan.
Dalam perspektif syara’, khulu’ ada yang shahih ada pula yang fasid. Khulu’ yang shahih adalah khulu’ yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, terutama syarat kompensasi (barang ganti rugi), seperti bisa diserahterimakan, milik tetap, dibolehkan secara syara’, dan sebagainya. Sebab, khulu’ adalah akad pertukaran. Jadi, ia menyerupai jual beli. Khulu’ tidak boleh dilakukan dengan kompensasi barang haram, mengandung unsur tipuan -seperti besarnya tidak diketahui, bukan milik istri, dan bukan sesuatu yang bisa diserahterimakan.
c.       Khulu’ fasid
Adalah khulu’ yang tidak mensyaratkan harus diketahuinya nilai kompensasi. Apabila seorang suami mengkhulu’ istrinya dengan kompensasi sesuatu yang tidak diketahui, seperti baju yang tidak ditentukan, atau dengan tumpangan kendaraan, atau mengkhulu’ istri dengan syarat yang fasid, seperti syarat tidak memberikan nafkah padahal si istri sedang hamil, atau syarat tidak menyediakan tempat tinggal; atau mengkhulu’ istri dengan kompensasi seribu sampai waktu yang tidak diketahui, dan lain sebagainya, maka dalam seluruh ilustrasi ini si istri tertalak ba’in dengan kompensasi sebesar mahar mitsil.
Demikian halnya jika suami mengkhulu’ istri dengan kompensasi sesuatu yang bukan harta, seperti khamr, atau bangkai maka jatuhlah talak ba’in dengan kompensasi sebesar mahar mitsil, seperti telah dijelaskan di depan. Akan tetapi, jika seorang suami mengkhulu’ istrinya dengan kompensasi darah maka jatuhlah talak raj’i. Sebab, darah merupakan sesuatu yang sama sekali tidak diinginkan, sehingga seolah-olah suami tidak menginginkan apa pun. Sementara khamr dan sejenisnya kadang diinginkan.[27]
H.    Masa Iddah Khulu'
Empat mazhab fiqih yang utama yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah kompak berpendapat bahwa wanita yang berpisah dengan suaminya dengan jalan khulu' tetap harus menjalani masa iddah, sebagaimana halnya masa iddah talak. Karena pada hakikatnya khulu' itu tidak lain adalah talak juga, maka hukum yang berlaku pada talak juga berlaku pada khulu'.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu wanita yang masih haidh aktif, wanita yang tidak haidh dan wanita yang sedang hamil. Masing-masing ada ketentuannya sendiri-sendiri.
1.      Masa Iddah Wanita Yang Masih Haidh Aktif
Dalam lamanya adalah tiga kali quru', sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ [28]
Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, al-qur’u berarti ath-thuhru (الطُّهْر). Maksudnya adalah masa suci dari haidh. Jadi tiga kali quru’ artinya adalah tiga kali suci dari haidh.
2.      Masa Iddah Wanita Yang Tidak Haidh
Wanita yang tidak haid, baik belum mencapai usianya atau malah sudah melewati masa subur atau menopuse, tentu tidak diukur masa iddahnya berdasarkan jadwal haidh.
Sebagai gantinya adalah dengan ukuran tiga bulan, sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Ath- Thalaq: 4
وَاللآئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ
وَاللآئِي لَمْ يَحِضْنَ [29]
3.      Masa Iddah Wanita Hamil
Wanita yang sedang hamil tentu tidak mendapatkan haidh. Bila dijatuhi talak atau khulu', masa iddahnya tidak diukur dengan haidh, melainkan sampai masa dimana dia telah melahirkan anaknya.[30] Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. Ath-Thalaq: 4
وَأُوْلاَتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ [31]
  1. Waktu Khulu’
Khulu’ atau talak dengan kompensasi boleh dilakukan pada waktu istri suci ataupun haid. Rasulullah saw pernah memutlakkan izin khulu’ kepadaTsabit bin Qais tanpa mencermati kondisi istri, berdasarkan firman Allah SWT yang berlaku umum, “…maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya,” (QS. Al-Baqarah:229). Selain itu, khulu’ berbeda dengan talak. Larangan menalak istri saat haid itu dikarenakan adanya dampak negatif yang bakal dialami istri akibat terlalu panjang masa ‘iddahnya, sementara khulu’ dilakukan karena adanya dampak negatif yang dialami istri akibat buruknya hubungan suami istri. Efek negatif terakhir ini lebih besar dibanding yang pertama. Sebab itu, kita boleh menghilangkan efek negatif paling besar dengan memilih efek negatif yang paling ringan. Demikian alasan pengecualian keharaman talak pada masa haid.[32]
J.      Hikmah Khulu’
1.      Tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami istri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya mengunakan cara thalaq, istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya dengan mengunakan cara khulu’.[33]
2.      Menolak bahaya yaitu apabila perpecahan antara suami istri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syari’at-syariat dalam kehidupan suami istri, maka khulu dengan cara yang telah di tetapkan oleh Allah merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan untuk menegakan hokum-hukum Allah.[34]
3.      Untuk mengelakkan kemudharatan yang dialami oleh isteri bila hidup dengan suami-suami yang tidak bertanggungjawab.[35]



[5]  http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=193 ( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )


[6] http://asysyariah.com/hukum-khulu/ ( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[7] Artinya: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”. ( QS. Al-Baqarah: 229 ) Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Bandung: Diponegoro, 2012 ), cet. Ke- 10, hlm. 36
[9] Ibid
[10] Artinya: “Hai orang-orang yang  beriman, kamu tidak halal mewarisi perempuan-perempuan dengan paksa dan janganlah kamu memberati mereka agar kamu dapat mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kami berikan kepadanya, kecuali kalau mereka berbuat keji dengan nyata”. (QS. An-Nisa: 19) Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Bandung: Diponegoro, 2012 ), cet. Ke- 10, hlm. 80
[12]  Artinya: “Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187) http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=793:membincang-masalah-khulu-gugat-cerai-istri-dalam-islam-suplemen-edisi-15ed-35-&catid=49:suplemen&Itemid=319 ( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[13] Artinya:  “Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.” (HR. Nasa’i 3461) Ibid
[15] Ibid
[16] http://pengertian.co/pengertian-khulu-dan-pembahasannya/  ( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[17] Artinya: “jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.”(QS. Al-Baqarah: 229) Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Bandung: Diponegoro, 2012 ), cet. Ke- 10, hlm. 36
[18] Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”. (QS. An-Nisa: 4) Ibid
[19] Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa: 19) Ibid, hlm. 80
[20] Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil Perjanjian yang kuat dari kamu”. ( QS. An-Nisa: 21) Ibid, hlm 81
[23] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014 ), cet. Ke-65, hlm. 398
[24] Artinya: “ wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka, dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukulah mereka”. ( QS. An-Nisa:34) Ibid, hlm. 398
[25] Ibid, hlm. 399
[26] Artinya: “ Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya (terhadao suaminya) menurut cara yang makruf”. (QS. Al-Baqarah: 228) Ibid, hlm. 399
[28] Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . (QS. Al-Baqarah : 228) Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Bandung: Diponegoro, 2012 ), cet. Ke- 10, hlm. 36
[29] Artinya: “Wanita-wanita yang tidak haid lagi (monopause) di antara wanita-wanita kalian jika kalian ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan. Begitupula wanita-wanita yang tidak haid. (QS. Ath-Thalaq: 4), Ibid, hlm. 558
[30] http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=193 ( Diunduh Tanggal 28 November 2016)
[31] Artinya: “Perempuan-perempuan yang hamil masa iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan (QS. Ath-Thalaq : 4), Ibid, hlm. 558
[32] http://islamalwafi.blogspot.co.id/2015/06/khulu.html  ( Diunduh Tanggal 28 November 2016)




[2]   http://ahmadsyahrussikti.blogspot.co.id/2011/12/konsep-khulu-talak-tebus-menurut-fiqih.html ( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[3] Artinya: “mereka itu adalah pakaian bagi kamu,dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”. ( QS. Al-Baqarah: 187) Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Bandung: Diponegoro, 2012 ), cet. Ke- 10, hlm. 29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS BANNER KOM IT