BAB II
PEMBAHASAN
- Definisi Khulu’
Khulu
menurut bahasa, berasal dari kata خَلَعَ – يَخْلَعُ - خُلْعًا yang berarti melepaskan atau menanggalkan pakaian.[2]
Karena perempuan sebagai pakaian laki-laki, dan laki-laki sebagai pakaian
perempuan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 187
[3]... هُن
لباس لكم وأنتم لبا س لهن...
Sedangkan menurut terminology Khulu’ adalah permintaan
cerai yang diajukan oleh istri terhadap suami dengan memberikan ganti rugi
sebagai tebusan kepada sang suami, agar ia menceraikannya.[4]
- Syarat dan Rukun Khulu’
1. Rukun
Khulu’
Jumhur ulama telah
menetapkan bahwa rukun khulu' itu ada lima, yaitu al-mujib, al-qabil,
al-mu'awwadh, al-'iwadh dan ash-shighah.
a. Al-Mujib
(Suami)
Yang dimaksud dengan al-mujib
(الموجِب) adalah suami, yang
dalam hal ini memiliki hak dan wewenang untuk menjatuhkan talak.
Jumhur ulama
mensyaratkan dalam hal ini status suami adalah: muslim, akil dan baligh.
b. Al-Qabil
(Istri)
Yang dimaksud
dengan al-qabil (القابل)
adalah pihak yang menerima khulu'.Dalam hal ini maksudnya adalah istri.
c. Al-Mu'awwad
Yang dimaksud
dengan al-mu'awwadh (المعوّد) adalah al-badh'u,
yaitu kemaluan. Maksudnya istri menebus kembali kehalalan atas diri,
kehormataan dan kemaluannya dari suaminya.
d. Al-Iwadh
Yang dimaksud
dengan al-'iwadh (العِوَض) adalah harta atau uang
yang dijadikan tebusan. Kedudukan harta tebusan ini menjadi sangat penting,
karena yang membedakan antara khulu' dengan perpisahan lainnya terletak pada
tebusannya itu sendiri.
Dan umumnya ulama mengatakan bahwa
khulu' yang dilakukan tanpa tebusan, maka hukum dan statusnya bukan khulu'.
e. Shighat
Yang dimaksud
dengan ash-shighat (الصِّيغة)
adalah adalah lafadz ijab dan kabul dari kedua belah pihak. Ijab adalah lafadz
yang diucapkan oleh suami dan kabul adalah lafadz yang diucapkan oleh istri.
Dan keduanya
termasuk ke dalam rukun khulu'. Sehingga bila salah satu atau keduanya tidak
ada, maka khulu' menjadi tidak sah. Masing-masing ijab serta kabul itu juga
punya syarat dan ketentuan, dimana bila syarat dan ketentuan dalam ijab kabul
ini tidak terpenuhi, maka khulu' menjadi tidak sah juga.[5]
2. Syarat
Khulu’
a. Harta/Barang
yang dipakai dalam khulu'
b. Istri
yang melakukan khulu’
c. Ucapan
Khulu’[6]
C.
Hukum Khulu’
Hukum
khulu’ sebagaimana hukum talak adalah merupakah hal yang boleh dilakukan oleh
pasangan istri tetapi merupakan hal yang dibenci oleh Allah.
1. Mubah
(diperbolehkan)
Khulu’
diperbolehkan ketika istri benci terhadap suaminya sehingga dengan kebenciannya
tersebut istri takut tidak dapat memenuhi hak suami (kewajibannya sebagai
istri) dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah sebagai istri.
Sebagaimana surat al-Baqarah ayat
229:
فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا
افْتَدَتْ بِهِ [7]
Ayat inilah yang
menjadi dasar hukum khulu’ dan penerimaan ‘iwadh. Terkait hukum mubah tersebut
Syaikh al-Bassam dalam kitabnya Bulughul Maram menyebutkan bahwa seorang istri
diperbolehkan mengajukan khulu’ (gugat cerai), jika istri membenci perilaku
suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan hak suami
(kewajiban istri), tetapi jika suami masih mencintainya, maka istri disunnahkan
untuk bersabar dan tidak memilih khulu’ (gugat cerai).[8]
Sabda Rasulullah
Saw: “Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam
agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”.
Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” (HR Bukhari)
2. Sunnah
Apabila sang
suami meremehkan hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan untuk Khulu.
3. Wajib
Dalam keadaan
tertentu, khulu’ menjadi wajib. Kondisi ini semisal suami memiliki keyakinan
lain yang bisa menjadikan istri sebagai Muslimah yang murtad atau suami tidak menjalankan kewajiban agama
seperti shalat, puasa dan lain sebagainya, padahal istri telah mengingatkan
suaminya. Jika suami tetap tidak mendengarkan peringatan dari istrinya maka dalam
dua keadaan tersebut si istri wajib melakukan khulu’ kepada suaminya. Selain kasus tersebut, maka haram hukumnya
bagi suami yang menyakiti istrinya supaya istri minta khulu’.[9]
Sebagaimana tersebut dalam QS an-Nisa ayat 19, sebagai berikut:
ياَيُّهَا
الَّدِيْنَ امَنُوْا لَايَحِلَّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
وَلَاتَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَا اَتيْتُمُوْهُنًّ إِلّاَاَنْ
يَّأْ تِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مَّبَيِّنَةٍ[10]
Jika seorang
istri sudah tidak bisa menemukan jalan untuk hidup bersama suaminya lalu ia
ingin mengajukan khulu’, maka ia harus memiliki alasan-alasan dan bukti-bukti
yang kuat untuk pengajuan khulu’ kepada pengadilan agama.
Berikut prosedur
pengajuan khulu’ sebagaimana diatur dalam pasal 148 KHI terdapat beberapa
langkah yaitu:
a. Seorang
istri yang mengajukan perceraian dengan jalan khulu’, menyampaikan
permohonannya kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya,
disertai alasan-alasannya.
b. Pengadilan
agama selambat-lambat-nya satu bulan akan memanggil istri dan suaminya untuk
mendengarkan keterangan dari masing-masing suami istri.
c. Dalam
persidangan tersebut, pengadilan agama memberikan penjelasan tentang akibat
khulu’ dan hakim akan memberikan nasihat-nasihat kepada suami istri.
d. Setelah
kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadl (tebusan) maka pengadilan
agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya
di depan sidang pengadilan agama. Terhadap penetapan ini maka tidak dapat
dilakukan upaya banding dan kasasi.
e. Setelah
sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang
terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami
dan istri, dibuat rangkap empat, yang terdiri dari:
1) Helai
pertama: beserta surat ikrar talak dikirimkan untuk pegawai pencatat nikah.
2) Helai
kedua dan ketiga: masing-masing diberikan kepada suami-istri.
3) Helai
keempat: disimpan oleh pengadilan agama. Dan step terakhir.
f. Ketika
tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan dalam permohonan khulu’ ini
maka pengadilan agama memeriksa dan memutuskannya sebagai perkara biasa. Dalam KHI pasal 161 menyebutkan bahwa
perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah bilangan talak dan tidak dapat
dirujuk.[11]
4. Haram
Hukum ini ada
dua hal keadaan yaitu:
a. Dari
sisi suami
Jika suami
menyusahkan istri, memutuskan hubungan komunikasi, tidak memberikan hak-hak
istri dengan harapan agar istri melakukan khulu’ maka sang suami tidak berhak
menerima ‘iwadl. Sebaliknya jika istri yang melakukan kesalahan (nusyuz) lalu
suami mempersulit dan tidak memberikan hak-hak istri sehingga istrinya
mengajukan khulu’ maka suami berhak menerima ‘iwadl dari istri.
Sebagaimana
Firman Allah dalam QS.An-Nisa: 19 “Janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” (Q.S.
An-Nisa : 19)
b. Dari
istri
Jika istri
meminta cerai, padahal hubungan rumah tangga baik dan tidak terjadi
perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami-istri serta tidak ada
alasan syar’i yang membenarkan adanya khulu’. Sebagaimana hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad dalam kitab Irwat’ul
Ghalil. “ Semua perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa alasan maka
haram baginya aroma surga.”
Terdapat
beberapa hadits yang menjelaskan keharaman Khulu’, diantaranya:
Dari Tsauban
radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أيُّما
امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ[12]
Hadits ini
menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta
perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat. Dalam Aunul Ma’bud, Syarh
sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’,
أي
لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة
Artinya:“Yaitu tanpa ada kondisi
mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (Aunul Ma’bud, 6:220).
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah
Rasulullah SAW., bersabda:
الْمُنْتَزِعَاتُ
وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ[13]
Al-Munawi menjelaskan hadis di
atas,
أي
اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي
Artinya: “Yaitu
para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang
dibenarkan secara syariat”.
Beliau juga
menjelaskan makna munafiq dalam hadis ini,
نفاقاً
عملياً والمراد الزجر والتهويل فيكره للمرأة طلب الطلاق بلا عذر شرعي
Artinya: “Munafiq
amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena
itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan
secara syariat.’ (At-Taisiir bi Syarh al-Jaami’ as-Shogiir, 1:607).[14]
Untuk pengajuan
khulu’, jumhur ulama telah bersepakat bahwasanya khulu’ bisa dilakukan oleh
wali perempuan (ayah istri) jika si anak perempuannya tersebut tidak cakap (bodoh),
namun prioritas pengajuan khulu’ berada dipihak istri dan jika pihak istri
tidak bisa mengajukan gugatan cerai karena kondisinya dikekang atau ditekan
oleh pihak suami maka pihak wali istri berhak atas anak perempuannya. Hak wali
untuk melakukan gugat cerai atas anaknya ini diperbolehkan sebagaimana
diperbolehkan untuk menikahkannya. Demikian halnya dengan perempuan hamba
sahaya di masa jahiliyah, dimana khulu’ atas dirinya diserahkan kepada
pemiliknya (tuan yang menguasainya). Al-Jaziry menegaskan bahwa syarat
terpenting bagi istri yang bisa mengajukan khulu’ adalah berakal, mukallaf dan
cerdik, sehingga anak kecil, orang gila dan orang safih (idiot) tidak sah
melakukan khulu’ terhadap suaminya.
Perwalian istri
dalam khulu’ berlaku sama dalam pernikahan sehingga ada beberapa pendapat ulama
dalam perwalian untuk istri (anak perempuan), yaitu menurut Hambali dan Maliki
wali pertama adalah ayah, kemudian orang yang menerima wasiat dari ayah dan
jika ayah tidak punya orang yang diwasiati maka perwalian jatuh ke tangan hakim
Syar’i. Kakek tidak memiliki hak perwalian karena kakek tidak memiliki posisi
ayah. Hanafi berpendapat bahwa para wali sesudah ayah adalah orang yang
menerima wasiat dari ayah, kemudian kakek dari pihak ayah, kemudian orang yang
menerima wasiat darinya dan jika tidak ada maka perwalian jatuh ke Qadhi.
Syafii berpendapat bahwa perwalian beralih dari ayah ke kakek, dari kakek
kepada orang yang menerima wasiat dari ayah, lalu kepada penerima wasiat kakek,
lalu kepada Qadhi. Mazhab Imamiyah berpendapat bahwa ayah dan kakek memiliki
posisi yang sama dalam perwalian selama mereka bisa melaksanakan kewajibannya,
dan jika di antara keduanya berebut untuk menjadi wali maka kakek lah yang
didahulukan. Urutan perwalian ini
menjadi sangat penting untuk dirunut dan ditelusuri jika istri sulit untuk
melakukan dan mendapatkan wali untuk melakukan khulu’ kepada suaminya karena
adanya kejahatan yang kemungkinan dilakukan oleh suami kepada istrinya (yang
meminta khulu’).
Adapun hukum
khulu’ bagi istri yang akan meninggal maka dalam keadaan seperti ini sebagian
besar Ulama berpendapat bahwa khulu’ dalam keadaan demikian adalah sah dan
istri meninggal dalam masa iddah. Menurut Hanafi dalam kondisi demikian suami
akan mendapatkan:
1) Jumlah
iwadl yang disepakati bersama
2) Sepertiga
harta warisan istri dan
3) Hartanya
sendiri (suami) selama berumah tangga dengan istri. Jumhur ulama, di antaranya
Maliki, Syafi’i, Ibnu Rusy dan Ibnu Nafi’ berpendapat bahwa dalam kondisi
demikian suami hanya mendapatkan harta warisan sepertiga dari harta waris
istri.[15]
Syariat Islam
memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi
merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam bentuk cerai
yang itu berada di tangan suami atau gugat cerai (khulu’) sebagai jalan keluar
bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Dan
semuanya harus dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan syariat.[16]
D.
Dasar Hukum Khulu’
Dasar
diperbolehkannya khulu adalah:
1.
Al-Qur’an
a.
QS. Al-Baqarah: 229
فَأِنْ
خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَ
تْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ
فَأُوْلَّئِكَ هُمُ الَظلِمُوْنَ[17]
b. QS.
An-Nisa: 4
وَءَاتُوْ
النِّسَاءَ صَدُ قَتِهِنَّ نِحْلَةً فَأِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا
فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا[18]
c. QS.
An-Nisa: 19
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ
تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ أِلاَّ أَنْ يَأتِيْنَ
بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ فَأِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ
فَعَسى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَّيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا[19]
d. QS. An-Nisa: 21
وَكَيْفَ
تَأخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ أِلَى بَعْضٍ وَّأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَاقاَ
غَلِيْظًا[20]
2. Hadits
Nabi Muhammad SAW
a. Dari
Ibnu Abbas ra: “sesungguhnya Jamilah binti Salul datang kepada Nabi lalu
berkata: “Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais tidak ada cacat dalam ahklak dan
agamanya, akan tetapi saya tidak mau kufur dalam Islam”. Maka bersabda Rasul:
“Dapatkah kamu mengembalikan kebunnya?” maka menjawab wanita itu: “ya, maka
memerintahkan Rasul untuk mengambil kebunnya”.
b. Dari
Ibnu Abbas, sesungguhnya isteri Tsabit datang kepada Rasulullah SAW kemudian
berkata: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mengumpulkan kembali antara
kepalaku dan kepala suamiku untuk selama-selamanya. Sebab aku tahu bahwa dia
adalah orang yang paling jelek kepribadiannya dan berkulit sangat hitam, sangat
pendek dan wajahnya tidak menguntungkan sama sekali.”
c. “Sesungguhnya
isteri Tsabit bin Qais melakukan khulu dari suaminya, dan Nabi memerintahkan
isteri Tsabit tersebut untuk melaksanakan iddah dengan satu kali haid.” (HR.
Abu Dawud dan Tirmizi)
d. Dari
Sahal bin Abi Hastmah, bahwa isteri Tsabit adalah orang yang pertama melakukan
khulu di dalam Islam.
e. Isteri
kedua dari Tsabit bernama Habibah binti Sahl Al-Anshariyah, pada suatu ketika
dipukul oleh suaminya sehingga mengalami patah tulang. Oleh sebab itu Habibah
menghadap kepada Rasulullah pada waktu beliau melakukan shalat subuh untuk
mengadukan peristiwa yang dialaminya. Ia mengeluh kepada Nabi SAW dan beliau
mengatakan kepada Tsabit untuk mengambil sebagian dari apa yang telah
diberikannya kepada Habibah dan menceraikannya.
f. Khulu
pun terjadi pada masa Umar bin Khattab, seorang wanita yang menentang suaminya,
maka Umar memenjarakan wanita tersebut dalam tempat yang banyak kotorannya
kemudian ia dipanggil dan ditanya “bagaimana keadaanmu?” jawab wanita itu
“belum pernah aku senang sejak aku bertemu dengan dia (suaminya), kecuali
semalam ini di tempat engkau penjarakan aku”. Maka khalifah Umar berkata kepada
suaminya: ”Lepaskanlah dia walau hanya menebus dirinya dengan
anting-antingnya”.
g. Dari
Rubayyi binti Muawwidz, bahwa sesungguhnya ia pernah menebus dirinya (membayar
khulu) di masa Nabi SAW. Kemudian Nabi menyuruh dia supaya beriddah sekali
haidh. (HR. Tirmizi) dan ia berkata: hadis Rubayyi ini sah.
Meskipun khulu
diperbolehkan tetapi harus diikuti dengan alasan-alasan yang kuat, seperti
suami seorang pemabuk, pezina, penjudi, tidak menafkahi keluarganya dan
lain-lain. Dalam hal seorang wanita atau isteri meminta cerai tanpa alasan atau
dicari-cari, maka diharamkan untuknya bau syurga.[21]
3. Ijma'
Para ulama
sepanjang zaman telah berijma' tentang disyariatkannya khulu' dalam agama
Islam. Meskipun mereka berbeda pendapat dalam detail syarat dan ketentuannya.
E.
Hal-hal yang Mewajibkan Khulu’
1.
Jika sang suami sangat nampak membenci
sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri
agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung.
2.
Akhlak suami yang buruk terhadap sang
istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
3.
Agama sang suami yang buruk, seperti
sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr,
berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar musik, dan
lain-lain.
4.
Jika sang suami tidak menunaikan hak
utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak
membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya,
padahal sang suami mampu.
5.
Jika sang suami ternyata tidak bisa
menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa
melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau
tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada
istri yang lain.
6.
Jika sang wanita sama sekali tidak
membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan
kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya
dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’,
karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak
suami.
7.
Jika sang istri membenci suaminya bukan
karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan
tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada
jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami.[22]
F.
Nusyuz ( Durhaka) Istri
Apabila
istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang dapat diterima
menurut hukum syara’ maka tindakan itu dipandang durhaka. Seperti:
1. Suami
menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak mau
pindah ke rumah itu atau istri meninggalkan rumah tangga tanpa izin suami.
2. Apabila
suami istri tinggal dirumah kepunyaan istri dengan izin istri kemudian pada
suatu waktu istri mengusir (melarang) suami masuk ke rumah itu.
3. Misalnya
istri menetap ditempat yang disediakan oleh perusahaannya, sedangkan suami
minta supaya istri tinggal di rumah yang telah disediakannya, tetapi istri
berkeberatan dengan tidak ada alasan yang pantas.
4. Apabila
istri bepergian dengan tanpa suami atau mahramnya walaupun perjalanan itu
wajib, seperti pergi haji. Karena jika perjalanan perempuan yang tidak beserta
suami terhitung maksiat.
Apabila suami
melihat istrinya durhaka maka ia harus menasehatinya dengan sebaik-baiknya.
Apabila sudah dinasehati masih terus tampak durhakanya, hendaklah suami
berpisah tidur dengan istri. Dan jika dia masih meneruskan kedurhakaanya, maka
diperbolehkan memukulnya tetapi jangan sampai merusak badannya.[23]
Sebagaimana yang
tercantum dalam Firman Allah SWT., dalam QS. An-Nisa: 34
وَالَّتِىْ
تَخَا فُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُهُنَّ فِى الْمَضَا جِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ[24]
Adapun tindakan yang harus
dilakukan suami terhadap istri yang durhaka antara lain:
1. Suami
berhak memberi nasihat kepada istri bila tanda-tanda kedurhakaan istri telah
tampak.
2. Sesudah
nyata durhakanya, maka suami berhak berpisah tidur darinya.
3. Sesudah
dua pelajaran tersebut (nasihat dan berpisah tidur), jika dia masih terus juga
durhaka maka suami berhak memukulnya.
Akibat kedurhakaan tersebut maka
hilanglah hak istri “menerima uang belanja, pakaian, dan pembagian waktu”.
Berarti dengan adanya durhaka istri ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib
atas suami dan istri tidak berhak menuntutnya.[25]
Firman Allah SWT dalam QS.
Al-Baqarah: 228
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِلْمَعْرُوْفِ[26]
G.
Macam-macam Khulu’
1.
Khulu’ munjiz dengan lafazh ganti rugi
Yaitu seorang
suami menjatuhkan kalimat perpisahan (furqah) dengan kompensasi.
Misalnya, sang suami berkata, “Aku telah menalakmu,” atau “Kamu orang yang
tertalak dengan kompensasi seribu sebagai gantinya,” dan pihak istri berkata,
“Aku terima.” Ini seperti pernyataan seorang penjual, “Aku jual barang ini
dengan harga seribu,” dan pembeli menjawab, “Aku terima.” Atau istri berkata,
“Talaklah aku dengan kompensasi seribu,” lalu suaminya menjawab, “Aku
menalakmu.” Ini seperti ucapan pembeli, “Juallah barang ini dengan harga seribu,”
lalu penjual menjawab, “Aku jual (barang ini) kepadamu.” Penjual tidak perlu
mengulangi penyebutan jumlah kompensasi (seribu) sebab konteksnya sudah
mengarah ke sana sebagaimana dalam jual beli. Pernyataan ini sah jika dilakukan
dengan segera, seperti halnya dalam jual beli. Suami boleh mencabut pernyataan
ijab sebelum ada qabul; dan istri juga boleh mencabut khulu’ sebelum jatuh
talak.
2.
Khulu’ mu’allaq atau ghairu munjiz
Yaitu seorang
suami menaklik talak dengan jaminan harta atau pemberian harta sebagaimana
telah dikemukakan di depan.
Dalam perspektif
syara’, khulu’ ada yang shahih ada pula yang fasid. Khulu’ yang shahih adalah
khulu’ yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, terutama syarat kompensasi
(barang ganti rugi), seperti bisa diserahterimakan, milik tetap, dibolehkan
secara syara’, dan sebagainya. Sebab, khulu’ adalah akad pertukaran. Jadi, ia
menyerupai jual beli. Khulu’ tidak boleh dilakukan dengan kompensasi barang
haram, mengandung unsur tipuan -seperti besarnya tidak diketahui, bukan milik
istri, dan bukan sesuatu yang bisa diserahterimakan.
c. Khulu’
fasid
Adalah khulu’
yang tidak mensyaratkan harus diketahuinya nilai kompensasi. Apabila seorang
suami mengkhulu’ istrinya dengan kompensasi sesuatu yang tidak diketahui,
seperti baju yang tidak ditentukan, atau dengan tumpangan kendaraan, atau
mengkhulu’ istri dengan syarat yang fasid, seperti syarat tidak memberikan
nafkah padahal si istri sedang hamil, atau syarat tidak menyediakan tempat
tinggal; atau mengkhulu’ istri dengan kompensasi seribu sampai waktu yang tidak
diketahui, dan lain sebagainya, maka dalam seluruh ilustrasi ini si istri
tertalak ba’in dengan kompensasi sebesar mahar mitsil.
Demikian halnya
jika suami mengkhulu’ istri dengan kompensasi sesuatu yang bukan harta, seperti
khamr, atau bangkai maka jatuhlah talak ba’in dengan kompensasi sebesar mahar
mitsil, seperti telah dijelaskan di depan. Akan tetapi, jika seorang suami
mengkhulu’ istrinya dengan kompensasi darah maka jatuhlah talak raj’i. Sebab,
darah merupakan sesuatu yang sama sekali tidak diinginkan, sehingga seolah-olah
suami tidak menginginkan apa pun. Sementara khamr dan sejenisnya kadang
diinginkan.[27]
H.
Masa
Iddah Khulu'
Empat mazhab fiqih yang utama yaitu
mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah kompak
berpendapat bahwa wanita yang berpisah dengan suaminya dengan jalan khulu'
tetap harus menjalani masa iddah, sebagaimana halnya masa iddah talak. Karena
pada hakikatnya khulu' itu tidak lain adalah talak juga, maka hukum yang
berlaku pada talak juga berlaku pada khulu'.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan,
yaitu wanita yang masih haidh aktif, wanita yang tidak haidh dan wanita yang
sedang hamil. Masing-masing ada ketentuannya sendiri-sendiri.
1.
Masa
Iddah Wanita Yang Masih Haidh Aktif
Dalam lamanya adalah tiga kali quru', sebagaimana
firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ [28]
Dalam
pandangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, al-qur’u
berarti ath-thuhru (الطُّهْر).
Maksudnya adalah masa suci dari haidh. Jadi tiga kali quru’ artinya adalah tiga
kali suci dari haidh.
2. Masa Iddah Wanita Yang Tidak Haidh
Wanita
yang tidak haid, baik belum mencapai usianya atau malah sudah melewati masa
subur atau menopuse, tentu tidak diukur masa iddahnya berdasarkan jadwal haidh.
Sebagai
gantinya adalah dengan ukuran tiga bulan, sesuai dengan apa yang difirmankan
oleh Allah SWT dalam QS. Ath- Thalaq: 4
وَاللآئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ
مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ
3. Masa Iddah Wanita Hamil
Wanita
yang sedang hamil tentu tidak mendapatkan haidh. Bila dijatuhi talak atau
khulu', masa iddahnya tidak diukur dengan haidh, melainkan sampai masa dimana
dia telah melahirkan anaknya.[30]
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. Ath-Thalaq: 4
وَأُوْلاَتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ
أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
[31]
- Waktu Khulu’
Khulu’
atau talak dengan kompensasi boleh dilakukan pada waktu istri suci ataupun
haid. Rasulullah saw pernah memutlakkan izin khulu’ kepadaTsabit bin Qais tanpa
mencermati kondisi istri, berdasarkan firman Allah SWT yang berlaku umum, “…maka
keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk
menebus dirinya,” (QS. Al-Baqarah:229). Selain itu, khulu’ berbeda
dengan talak. Larangan menalak istri saat haid itu dikarenakan adanya dampak
negatif yang bakal dialami istri akibat terlalu panjang masa ‘iddahnya, sementara
khulu’ dilakukan karena adanya dampak negatif yang dialami istri akibat
buruknya hubungan suami istri. Efek negatif terakhir ini lebih besar dibanding
yang pertama. Sebab itu, kita boleh menghilangkan efek negatif paling besar
dengan memilih efek negatif yang paling ringan. Demikian alasan pengecualian
keharaman talak pada masa haid.[32]
J.
Hikmah Khulu’
1.
Tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan
suami istri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya
mengunakan cara thalaq, istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari
suaminya dengan mengunakan cara khulu’.[33]
2.
Menolak bahaya yaitu apabila perpecahan
antara suami istri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat
menjaga syari’at-syariat dalam kehidupan suami istri, maka khulu dengan cara
yang telah di tetapkan oleh Allah merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan
untuk menegakan hokum-hukum Allah.[34]
3.
Untuk mengelakkan kemudharatan yang
dialami oleh isteri bila hidup dengan suami-suami yang tidak bertanggungjawab.[35]
[6] http://asysyariah.com/hukum-khulu/
( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[7] Artinya: “Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya”. ( QS. Al-Baqarah: 229 ) Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, ( Bandung: Diponegoro, 2012 ), cet. Ke- 10, hlm. 36
[8] http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=793:membincang-masalah-khulu-gugat-cerai-istri-dalam-islam-suplemen-edisi-15ed-35-&catid=49:suplemen&Itemid=319
( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[9] Ibid
[10] Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, kamu tidak halal mewarisi
perempuan-perempuan dengan paksa dan janganlah kamu memberati mereka agar kamu
dapat mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kami berikan kepadanya,
kecuali kalau mereka berbuat keji dengan nyata”. (QS. An-Nisa: 19) Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Bandung: Diponegoro, 2012 ), cet. Ke- 10,
hlm. 80
[11]
http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=793:membincang-masalah-khulu-gugat-cerai-istri-dalam-islam-suplemen-edisi-15ed-35-&catid=49:suplemen&Itemid=319
( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[12]
Artinya: “Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai
tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 2226,
At-Turmudzi 1187) http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=793:membincang-masalah-khulu-gugat-cerai-istri-dalam-islam-suplemen-edisi-15ed-35-&catid=49:suplemen&Itemid=319
( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[13] Artinya: “Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya
dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para
wanita munafiq.” (HR. Nasa’i 3461) Ibid
[15] Ibid
[16] http://pengertian.co/pengertian-khulu-dan-pembahasannya/ ( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[17] Artinya: “jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang
zalim.”(QS. Al-Baqarah: 229) Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (
Bandung: Diponegoro, 2012 ), cet. Ke- 10, hlm. 36
[18] Artinya: “Berikanlah maskawin
(mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan
senang hati”. (QS. An-Nisa: 4) Ibid
[19] Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari
apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS.
An-Nisa: 19) Ibid, hlm. 80
[20] Artinya: “Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
Perjanjian yang kuat dari kamu”. ( QS. An-Nisa: 21) Ibid, hlm 81
[21] http://ahmadsyahrussikti.blogspot.co.id/2011/12/konsep-khulu-talak-tebus-menurut-fiqih.html
( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[22] https://abuolifa.wordpress.com/2014/11/06/hukum-istri-menggugat-cerai-suami-khulu/ ( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[23] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam,
( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014 ), cet. Ke-65, hlm. 398
[24]
Artinya: “ wanita-wanita
yang kamu khawatiri nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka, dan pisahkan diri dari
tempat tidur mereka, dan pukulah mereka”. ( QS. An-Nisa:34) Ibid, hlm.
398
[25] Ibid, hlm. 399
[26] Artinya: “ Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya (terhadao suaminya) menurut
cara yang makruf”. (QS. Al-Baqarah: 228) Ibid, hlm. 399
[27] http://islamalwafi.blogspot.co.id/2015/06/khulu.html
(Diunduh Tanggal 28 November 2016)
[28] Artinya: “Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . (QS. Al-Baqarah :
228) Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Bandung: Diponegoro, 2012
), cet. Ke- 10, hlm. 36
[29] Artinya: “Wanita-wanita yang
tidak haid lagi (monopause) di antara wanita-wanita kalian jika kalian
ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan.
Begitupula wanita-wanita yang tidak haid. (QS. Ath-Thalaq: 4), Ibid, hlm.
558
[30] http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=193
( Diunduh Tanggal 28 November 2016)
[31] Artinya: “Perempuan-perempuan
yang hamil masa iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan (QS.
Ath-Thalaq : 4), Ibid, hlm. 558
[32] http://islamalwafi.blogspot.co.id/2015/06/khulu.html ( Diunduh Tanggal 28 November 2016)
[33] http://manbaulilmiwalhikami.blogspot.co.id/2014/01/k-h-u-l-u-2.html ( Diunduh Tanggal 28 November 2016)
[34] http://www.rangkumanmakalah.com/khulu-dan-fasakh-dalam-nikah/ ( Diunduh Tanggal 28 November 2016)
[35]
https://hikmatun.wordpress.com/2008/07/27/khulu-tebus-talaq/ ( Diunduh Tanggal 28 November 2016)
[2]
http://ahmadsyahrussikti.blogspot.co.id/2011/12/konsep-khulu-talak-tebus-menurut-fiqih.html
( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
[3] Artinya: “mereka itu adalah
pakaian bagi kamu,dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”. ( QS. Al-Baqarah:
187) Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Bandung: Diponegoro,
2012 ), cet. Ke- 10, hlm. 29
[4] http://pandidikan.blogspot.co.id/2010/04/definisi-khuluk-dan-tafriq.html
( Diunduh Tanggal 28 November 2016 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar